The Curiosity

Dubito Ergo Cogito, Cogito Ergo Sum, kurang lebih seperti itu terjemahan dari kata-kata terkemuka Rene Descartes yang berarti “aku ragu maka aku berpikir, aku berpikir maka aku ada”. Kata-kata tersebut mengisyaratkan bahwa manusia, khususnya pelajar, memiliki suatu aset yang luar biasa untuk memahami kehidupan, yaitu apa yang dinamakan dengan keraguan. Melalui munculnya keraguan dalam diri pelajar, hal tersebut akan mendorong munculnya kemauan dalam diri pelajar untuk mematahkan keraguan yang dirasakannya. Kemauan menjawab keraguan tersebut yang kemudian disebut sebagai daya curiosity manusia. 

Sebagaimana kelas Kognitariat yang didefinisikan oleh Toffler sebagai suatu kelas yang ideal dalam kehidupan masyarakat informasi, keragu-raguan perlu untuk terus dilibatkan dalam proses mengolah jutaan informasi yang dapat diserap oleh seorang pelajar dalam seharinya. Sehingga hal tersebut dapat memicu aktivasi daya curiosity dalam diri seorang pelajar yang nantinya dapat menegaskan mengenai value dari segala sesuatu yang ada di sekelilingnya.

Begitu banyak persoalan yang muncul ketika daya curiosity pelajar tidak digunakan. Kemunculan gangster yang beranggotakan anak-anak remaja di bawah umur beberapa waktu lalu sontak menggemparkan jalanan Kota Surabaya ketika malam hari. Kuatnya pengaruh sosok yang dituakan dalam kelompok gangster mampu menggiring anak-anak lainnya untuk terjun ke jalan dan melakukan perbuatan onar terhadap masyarakat yang berlalu lalang di jalanan ketika malam hari. 

Dengan persenjataan tajam yang mereka miliki, mereka percaya akan memperoleh perhatian masyarakat luas dan semakin ditakuti. Tidak jarang keonaran yang mereka buat mengakibatkan terenggutnya nyawa korban. Namun ketika mereka berhasil dicekal melalui operasi gabungan yang dilakukan rangka menertibkan kembali keadaan kota, terpampang raut penyesalan yang muncul di muka mereka. Seandainya daya curiosity yang mereka miliki digunakan untuk mempertanyakan tentang sebuah value dari tindakan yang mereka lakukan, perbuatan onar tersebut tidak akan mereka lakukan. 

Sebaliknya, dampak dari pemaksimalan daya curiosity dalam diri seorang pelajar akan mendekatkan mereka dengan kebermanfaatan. Pelajar, dalam hal ini kader IPM, ketika seorang kader IPM mampu memaksimalkan daya curiosity yang ada dalam dirinya, akan muncul suatu pemandangan yang memperlihatkan begitu kecilnya ruang gerak IPM yang selama ini digeluti oleh mayoritas kadernya. Aktivitas-aktivitas klise yang dilakukan oleh kader-kader IPM yang hanya didasari oleh konsep turun temurun dan akan terus diulang tiap tahunnya, merupakan aktivitas yang usang dan perlu ditinggalkan. Perlu muncul keraguan dalam diri seorang kader IPM untuk berani mencoba sesuatu yang baru, menjawab keraguan dengan memaksimalkan daya curiosity yang dimilikinya.

Sebagai contoh, kader IPM perlu memiliki mentalitas besar ketika berkompetisi dengan organisasi-organisasi intra sekolah yang notabene non-Muhammadiyah. Kader-kader IPM yang menempuh jenjang pendidikan menengah di sekolah non-Muhammadiyah perlu percaya diri untuk mengambil peran sentral dalam lingkungan sekolah mereka sendiri. Dengan budaya organisasi yang berbeda, kompetisi tersebut tidak ditujukan semata-mata sebagai ajang pembuktian bahwa IPM lebih baik atau bahkan tidak lebih baik dari organisasi-organisasi intra sekolah non-Muhammadiyah yang ada. Tetapi kompetisi tersebut ditujukan untuk menjawab rasa keingintahuannya tentang bagaimana eksistensi IPM dalam lingkup yang lebih luas? Eksistensi IPM yang tidak lagi berkutat di sekolah Muhammadiyah, namun mampu menghidupkan eksistensi IPM dalam lingkungan luasnya yang penuh dengan keberagaman, dan hal tersebut dilakukan atas dasar bentuk kecintaan terhadap almamater IPM itu sendiri. 

Maka, mereka yang telah berproses di IPM selama 2-3 tahun, perlu memiliki rasa percaya diri yang tinggi untuk mencoba tantangan baru, menjawab keraguan dan memaksimalkan daya curiosity dalam dirinya. Tidak mengejutkan apabila hari ini atau dalam beberapa tahun-tahun kedepan, akan muncul ketua OSIS, ketua MPK, ketua PASKIBRAKA, ketua Suporter atau bahkan ketua-ketua lain di lingkungan organisasi intra sekolah non-Muhammadiyah yang sejatinya memiliki latar belakang sebagai kader IPM. 

 Pelajar, dalam hal ini kader IPM, perlu untuk merawat dan memaksimalkan anugerah yang telah diberikan oleh Allah SWT berupa daya curiosity kepada satu-satunya makhluk yang diciptakanNya untuk menjadi seorang khalifah di muka bumi ini. Absennya keraguan dan matinya daya curiosity dalam tubuh seorang kader IPM akan menjerumuskan mereka ke dalam kepatuhan total, ibarat singa dalam sirkus yang telah dijinakkan sepenuhnya. Bagaimana pengetahuan dan wawasan diperolehnya dengan cara menghafal setiap angka, huruf, kalimat, bahkan baris. Proses penulisannya lebih cenderung dengan teknik copy and paste, sama seperti mesin fotokopi. Gerak kader IPM yang tidak lagi bergerak secara intuitif atau inisiatif, melainkan gerak kader IPM yang serba instruktif. Dalam keadaan isi kepala yang mati, tubuh hanya akan tergerak dengan sistem order and serve. Apa yang dipesan, itu yang akan dijalankan. Mengerikan.

Sebaliknya, kader IPM perlu belajar mandiri dalam menentukan kehendaknya yang didasari oleh aktifnya daya curiosity dalam dirinya. Artinya, segala proses yang dijalaninya diolah dengan baik sehingga dapat menentukan porsi sikap yang akan diambil di masa depan kelak. Kader IPM perlu menjadi representatif dari Kelas Kognitariat. Hal tersebut penting untuk ditempuh sebagai bentuk ikhtiar merawat daya curiosity yang dimilikinya dalam rangka mewujudkan pelajar yang benar-benar merdeka seutuhnya. 

Penulis : M Rusydan Mirwan H

IPM Televisi

Sosial Media Resmi

More Stories
Tanpa Stigma