Persepsi Janda, Antara Dipandang Sebelah Mata atau Tugas Ganda


Oleh: Benita Tania Gunawan*

IPMSUROBOYO.OR.ID – Apa yang ada difikiranmu ketika mendengar persepektif tentang ‘janda?’ Kata janda seringkali di lontarkan menjadi panggilan untuk perempuan yang sudah menikah lalu bercerai atau ditinggal meninggal oleh sang suami. Tetapi status sosial ini seringkali terdengar diperbincangkan oleh masyarakat. Entah dalam pandangan baik maupun tidak.

Yang penulis jumpai sejauh ini banyak masyarakat yang melihat janda dengan perspektif yang tidak baik dan dipandang sebelah mata. Lantas mengapa begitu?

Sebenarnya, status sosial ini adalah kegagalan kedua belah pihak dalam berumah tangga seorang janda tidak layak untuk dipandang sebelah mata, justru kita harus mengapresiasi semangatnya untuk mempertahankan dan meningkatkan ekonomi keluarganya.

Tidak mudah menjadi seorang yang mempunyai tugas ganda apa lagi seorang perempuan, hanya janda yang mampu seperi itu, dia mampu melaksanakan tugasnya menjadi seorang kepala keluarga, juga ibu rumah tangga.

Bahkan ada pula yang mengakatan bahwa seorang janda tidak layak menjadi pasangan dikarenakan sudah gagal dalam berumah tangga sebelumnya (diperuntuk kan yang bercerai hidup). Padahal realitanya terlepas dari itu semua kita juga sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan dan melengkapi satu sama lain tanpa membedakan gender apapun.

Banyak diketahui juga kasus atas ketidakadilan gender pada janda dan mengakibatkan kaum perempuan bekerja lebih keras dengan memeras keringat jauh lebih panjang. Tidak menyudutkan kaum duda juga atau bisa dikatakan sebagai laki-laki yang bercerai atau ditinggal meninggal oleh istinya. Tetapi terkadang pandangan masyarakat lebih condong ke status janda tersebut.

Status sosial janda juga termasuk dalam kelompok rentan dikarenakan keterbatasan ekonomi dalam menghidupi keluarganya. Terkadang terjadinya konflik yang membuat perpecahan berumah tangga salah satunya ialah pembagian peran sosial terhadap perempuan dan laki-laki menyebabkan terjadinya ketidaksamaan kedudukan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Maka terjadilah konflik yang terkadang kata cerai menjadi jalan tengah yang mereka ambil.

Dilihat dari film yang berjudul “Marlina si Pembunuh Empat Babak” yang mengisahkan tentang kekerasan terhadap seorang janda yang hidup di tanah Sumba yang harus berjuang menghadapi kemiskinan dan mencari keadilan. Bentuk kekerasan psikologis yang termasuk di dalam film itu mungkin sulit untuk diidentifikasi
karena dampaknya tidak terlihat langsung, namun justru memiliki efek jangka panjang yang lebih sulit dihilangkan. Yang termasuk dalam kekerasan psikologis ini antara lain, pelecehan, sikap memiliki
yang berlebihan, ancaman atau berbagai bentuk lain.

Mari membuka pandangan lebih luas , jika kita berada di posisi seorang janda yang dipandang sebelah mata maka apa yang kita lakukan setelahnya, dan jika kita melihat disekitar seorang dengan status sosial tersebut dan apa yang kita berikan untuk mereka. Mulailah berpandangan baik tanpa memandang status sosial apapun.

*Penulis: Benita Tania Gunawan, Pegiat Literasi, Pengurus Komunitas Sahabat Literasi

IPM Televisi

Sosial Media Resmi

More Stories
Dakwah Bil-Siniar, Sahabat Literasi Tetap Melangkah!