Sebagai ikon dari Kota Surabaya, dua makhluk hidup yang hidup dalam perseteruan yaitu antara suro atau sura (hiu) dengan boyo atau baya (buaya) menjadi potret bagaimana kota ini begitu kental dengan perseteruan-perseteruan besar. Selain terdapat berbagai mitos yang menceritakan bagaimana perseteruan antara suro dan boyo yang saling berebut mangsa, Kota Surabaya juga menjadi saksi pertempuran antara arek-arek Suroboyo dengan kolonial Belanda yang mempertaruhkan harga diri arek-arek Suroboyo sendiri sebagai pemilik sah tanah airnya.
Suro yang menjadi salah satu bagian dari ikon Kota Surabaya tidak terlepas dari karakter ke-hiu-annya sebagai salah satu predator laut. Ikon suro tidak boleh begitu saja dilepaskan dari kehidupan aslinya yang dapat ditarik lebih jauh dengan kajian semiotika terhadap ikon suro tersebut. Ferdinand de Saussure sebagai salah satu tokoh linguistik yang juga dikenal sebagai bapak semiotika menerangkan bahwa manusia dalam berkomunikasi tidak terlepas dari pengisyaratan sebuah tanda. Semisal, dalam menjelaskan Kota Surabaya, tanda-tanda terdekat yang menerangkan keberadaan Kota Surabaya antara lain kota pahlawan, tugu pahlawan, jembatan merah dan lain-lain.
Dalam penerangan tersebut, Saussure menekankan bahwa penjelasan orang terhadap suatu tanda kerap berbeda atau bersifat arbitrer, artinya sebuah makna dari tanda ditentukan oleh kesepakatan oleh lingkungan berkomunikasi tersebut. Bisa jadi, orang mengidentifikasi Kota Surabaya lain dari apa yang disebutkan sebelumnya. Seperti Jembatan Suramadu atau bahasa sarkasmenya seperti cuk dan yang lain-lainnya. Hal tersebut tergantung dengan kesepakatan dalam suatu lingkungan masyarakat yang menyepakati tanda-tanda tertentu bermakna tertentu pula.
Dalam mengidentifikasi semiotika ikon suro, terdapat pemisahan antara apa yang disebut sebagai signifier (penanda) dan signified (petanda). Aspek penanda merupakan bunyi atau coretan yang bermakna dan aspek penanda merupakan sebuah makna yang tersemat dari aspek penandanya. Dalam hal ini, aspek penanda suro digambarkan sebagai seekor hiu putih yang sama besarnya dengan ukuran boyo. Melalui gambaran tentang ukuran yang sama, dapat diartikan aspek penandanya, bahwa kekuatan yang dimiliki oleh suro setara dengan kekuatan milik boyo. Namun pernahkah terpikir sekilas apa yang membuat suro sebagai seekor hiu yang merupakan salah satu predator ulung di lautan menjadi kompetitor utama boyo yang dikenal sebagai salah satu predator ulung di daratan ?
Suro, sebagai seekor hiu melewati serangkaian proses unik dalam proses kelahirannya. Hiu-hiu yang tergolong sebagai karnivora pada umumnya mengalami proses yang dinamakan sebagai proses Oophagy dan Adelophophagy. Sejak dalam embrio, terjadi proses kanibalisme antar embrio dalam uterus hiu. Proses kanibalisme tersebut sebagai salah satu metode perkembangan embrio untuk mendapatkan nutrisi, yaitu dengan cara memakan telur yang tidak dibuahi dalam uterus. Dengan kata lain, embrio tertua akan memakan embrio-embrio muda lainnya. Proses tersebut yang menjadi petanda suro dan beberapa hiu-hiu lainnya yang mengalami serangkaian proses kanibalisme dalam proses kelahirannya. Barangkali hal tersebut yang membuat suro tidak segan untuk menantang boyo, sebagai representatif predator di masing-masing habitatnya.
Dalam konteksnya terhadap perkaderan di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) secara umum, proses kanibalisme dalam kelahiran seekor suro tidak layak untuk dijadikan sebagai acuan konsep perkaderan di ikatan ini. Perkaderan kolektif, konsep semua untuk satu (All for One), tidak lain akan menghambat peranan kader-kader yang sedang menempuh proses berkadernya di IPM. Embrio tertua tidak seharusnya menjadi sosok perampas ruang gerak bagi embrio-embrio muda lainnya. Alangkah baiknya jika embrio yang lebih tua mengambil posisi peran untuk membantu embrio-embrio muda lainnya untuk memfasilitasi proses berkadernya.
Baiknya konsep perkaderan dari hulu ke hilir tertata dengan model distributif. Bukan perkaderan yang menekankan value semua untuk satu (All for One) , tetapi lebih kepada value satu untuk semua (One for All). Bagaimana terdapat keserasian dalam menyesuaikan porsi proses berkader masing-masing, yang jelas tidak ada upaya untuk saling menyumbat jalannya proses berkader antara yang tua dengan yang muda. Hal tersebut dikarenakan masing-masing kader telah dihadapkan dengan porsi prosesnya masing-masing, bukan malah saling berebut panggung kecil dengan sorot lampu yang tidak begitu terang. Dengan konsep perkaderan yang distributif, setiap kader dapat memahami peranannya sebagai kader IPM. Sementara mereka yang gagal memahami peranannya tersebut tak lama lagi akan segera keluar dari jalur perjuangan kader IPM itu sendiri.
Misalnya dalam proses pengerjaan suatu program. Kerja One Man Show merupakan model kerja yang kurang tepat. Kemungkinannya dua, pertama pengerjaan suatu program baik secara teknis atau konsep dikerjakan oleh satu orang, kedua pengerjaan suatu program dikerjakan secara bersama-sama namun diklaim atas hasil kerjanya sendiri. Baiknya, para penyusun program membagi tugas sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Tidak hanya itu, sebisa mungkin penempatan posisi tersebut dilakukan secara dinamis, artinya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mencoba posisi yang bermacam-macam dalam pengerjaan suatu program tersebut.
Dibalik ikon suro, terdapat sebuah proses kelahiran hiu (pada umumnya) yang dapat menjadi pelajaran tentang bagaimana penerapan konsep perkaderan dalam IPM perlu untuk ditata kembali. Legitimasi gerak pasif ikatan dengan alasan krisis kader merupakan sebuah hipokrit yang tidak boleh terucap kembali. Setiap tahunnya, sekolah-sekolah pasti menerima kader-kader baru, lantas kemana keberadaan mereka hari ini ? entahlah. Yang jelas mereka dalam prosesnya belum dapat terfasilitasi hingga pada titik sadar terhadap peran apa yang harus mereka ambil di ikatan ini. Tanpa disadari, sebagian besar kader-kader yang lebih dulu berproses tidak dapat menyediakan ruang yang ideal untuk kader-kader muda lainnya, bahkan cenderung merampas ruang bertumbuhnya tersebut . Sampai kapan praktek perkaderan kolektif yang kanibal ini dipertahankan ?
Segera buka jalan, laju kemunculan generasi baru niscaya tidak akan mampu untuk ditahan, bukan ?
Penulis : M Rusydan Mirwan H